Jumat, 30 Januari 2009

Provokasi Budaya:

(Hanya) Menjual Kecantikan!!!

Oleh Nurani

Aku baru bangun tidur. Tadi mimpi meludahi muka Julia Perex, Dewi Bersisik, Dewi Tersandra, Asmirondho, Titi Kumal, Naysila Murtad, Maiyat Estianti, Marsandal, Mulan Jamahlah, dan Agnes Mounikah”.

(Sms dari Teman saya, Bejo)

“Wanita anggun jarang membuat sejarah”.

(Anita Borg)

“Cantik Itu Luka”.

(Eka Kurniawan, Sastrawan)

Esai ini bukan hanya riak-riak kecil dari bukuku yang akan terbit, “BEHIND THE SCENES” (Jakarta—Prestasi Pustaka, 2009), kisah tentang posisi selebritis dalam kapitalisme hiburan—(sebenarnya) juga dalam pertarungan kelas antara rakyat yang dimiskinkan dengan selebritis yang semakin pamer kemewahan dalam tatanan kapitalisme yang kian timpang!

Esai ini hanyalah ungkapan sentimentil. Barangkali! Intinya, kita dituntut untuk berpikir secara filsafati untuk melihat berbagai ekspresi budaya dan mencari makna dari dialektika material yang sebenarnya…

Julia Perex dan Dewi Bersisik

Seperti temanku Bejo, terus terang aku juga semakin muak dengan sederetan artis seperti Julia Perex, Dewi Bersisik, Luya Mana, Cinta Lora, dll, yang hanya mirip boneka bodoh yang menjual kecentilan. Maafkan aku dengan perasaan ini! Bagi kamu yang gak sependapat denganku, tidak apa-apa tak sepakat. Tapi aku punya pendapatku sendiri tentang nilai dan ukuran... ukuran tentang peran dan posisi seseorang yang hidup dalam pergulatan hidup di era kapitalisme ini. Aku terpaksa menilai mereka. Ya... karena mereka yang tiap hari ‘nongol’ di depan kita, berusaha menularkan nilai mereka.

Jadi sebut saja tulisan ini adalah perang nilai dan perang ideologi. Perang antara tulisan-tulisanku yang mendeligitimasi peran para enterteiner yang parasit dalam budaya borjuis-kapitalis, dengan mereka yang ingin menanamkan ideologi kapitalis melalui nilai-nilai secara terus-menerus. Media mereka TV, majalah gaul, cabul, dan yang agak cabul...

Nilai yang akan kudiskusikan adalah soal NILAI KECANTIKAN!

Model=Domba Tolol

Dewasa ini, kecantikan adalah nilai yang paling dipuja. Kontes kecantikan adalah salah satu contoh menyesatkan. Kontes ini membuat perempuan berpikir bahwa hal terpenting yang harus dikejar dalam hidup adalah menguasai tips kecantikan dan keahlian mencari jodoh. Lalu mereka menawarkan hadiah berupa beasiswa yang justru membuat keadaan sangat ironis karena para lelaki penonton acara kontes kecantikan itu rata-rata adalah penyuka perempuan yang bodoh. Menurut seorang pengamat relasi laki-laki-perempuan di Amerika, Serry Argov, kalau kita kritis sebenarnya kita akan perhatikan bahwa:

kontes kecantikan itu mirip banget sama pameran hewan ternak. Para peternak itu memamerkan sapi-sapi mereka dengan cara yang sama dengan para kontestan kecantikan. Mereka menggiring sapi…juara mereka ke tengah panggung di depan penonton dan para juri, dan mungkin bahkan memerintahkan sapi mereka beraksi sedikit di tengah panggung menunjukkan kebolehannya. Lalu, sapi-sapi yang menang akan diberi pita satin dengan nama gelar yang diperoleh berikut tahunnya”.[1]

Banyak yang tentunya sepakat bahwa kemunduran perempuan salah satunya adalah karena kapitalisme-komersialisme yang membentuk cara berpikir kaum perempuan bahwa mereka hanya dapat menyandarkan eksistensi dirinya pada penampilan fisik. Sherry Argov melontarkan nasehat pada kaum perempuan ketika mereka ingin mendapatkan calon suami yang sejati:

Ketika laki-laki melihat kamu memakai pakaian yang terbuka, biasanya ia [laki-laki] akan berasumsi bahwa kamu nggak punya hal lain yang menarik dalam diri kamu... Ketika dia [laki-laki] melihat kamu berpakaian sangat minim, dia nggak akana mengingat betapa rendahnya tubuh kamu yang telanjang itu. Tapi dia akan segera berpikir tentang berapa banyak laki-laki yang pernah berhubungan sama kamu”.[2]

Dalam hubungan kapitalistik, kepercayaan antara satu manusia satu dengan lainnya, termasuk antara laki-laki dan perempuan, semakin luntur karena kebanyakan orang frustasi akibat penindasan dan tekanan hidup hingga mereka semakin diracuni oleh pikiran bahwa satu-satunya hal yang dapat mewakili mereka dalam interaksi hanyalah modal dan ‘sesuatu’ yang dapat ditawarkan sebagaimana halnya transaksi dalam pasar.

Ketika bertemu dengan perempuan bodoh yang hanya mengandalkan penampilan fisiknya, seorang laki-laki yang kaya mungkin akan berpikir: “Alah, apa arti kecantikanmu... dengan mudah aku dapat membelinya”—dengan membungkusnya dengan basa-basi perkawinan sang laki-laki pun bisa memiliki dan menguasai si perempuan cantik (bisa jadi perempuan ‘baik-baik’) di dalam rumah. Si perempuan sejak awal memang merasa mampu mendapatkan perlindungan dan keamanan finansial ketika mereka bisa menarik hati pria kaya. Pria kaya dan punya pengalaman kebebasan yang lumayan, mungkin sudah dapat menakhlukkan para perempuan lainnya tanpa harus menikah, dan dia tentu butuh seorang istri yang bisa diandalkan dirumah.

Sementara itu, tak sedikit kaum perempuan yang memang mempersiapkan dirinya untuk mendapatkan pria kaya dengan cara memelihara dan meningkatkan modal kecantikan fisiknya. Tak sedikit di antara mereka yang juga sadar bahwa mereka tak melibatkan perasaan cinta saat menikah, tetapi memang semata-mata mencari keamanan finansial dan menjadi ‘social climber’—perempuan yang ingin naik kelas dengan bermodalkan kecantikan tubuh.

Perempuan harus mempersiapkan kemampuan seolah ia ingin memiliki kapasitas yang dibutuhkan pria yang memang membutuhkan kepuasan seksual ketika berhubungan dengan perempuan. Seringkali perempuan dikasihtahu oleh majalah-majalah dan media bahwa untuk memenangkan hati laki-laki adalah lewat seks.

Jual Keliaran, Seperti (Julia) Pereks

Bacalah majalah-majalah atau buku-buku, misalnya artikel yang berjudul “100 Tips Seks yang Akan Membuatnya Liar”. Kebanyakan tulisan semacam itu sangatlah tolol dan benar-benar membuat perempuan tolol setelah membacanya. Para penulis artikel kacangan itu akan memberikan anjuran, misalnya: perempuan bisa membuat hubungan seks yang penuh petualangan yang membuatnya memberi kesan pada laki-laki sebagai ahli di ranjang. Contoh nasehat detail terhadap perempuan dari artikel semacam itu misalnya: Kamu selalu muncul dengan ‘lingerie’ yang bisa dimakan, goyangan seksual yang spektakuler, barang-barang berbahan lateks, akrobat di ranjang dengan borgol bulu-bulu, dan kamu juga bisa memasang lampu bola disko disamping ranjang agar kegiatan seksual romantis. Terus kamu mengikat tangan laki-laki, menyumpal mulut mereka dengan stocking-mu agar gairah seksual liar, dan memberi suara-suara atau lenguhan yang seksi seperti—misalnya—anjing menggonggong.

Hanya perempuan yang menyadari bahwa seks dan kecantikan bukanlah satu-satunya modal, yang akan menyadari potensi lain dari keberadaannya. Potensi itu adalah seluruh tubuhnya, terutama pikiran maju dan penuh wawasan yang akan mengendalikan tindakannya untuk menunjukkan bahwa dirinya bisa lepas dari kebiasaan-kebiasaan baru. Perempuan semacam ini sadar bahwa dia juga harus mendapatkan ruang yang lapang untuk terus belajar dan berperan dalam masyarakanya.

Hidupnya bukan hanya untuk mengurusi dirinya sendiri, misalnya hanya sibuk merekayasa penampilan agar banyak orang lain yang kagum terhadap dirinya hanya karena ia menonjol di bidang itu. Kita seringkali menjumpai perempuan yang bergelimang popularitas seperti perempuan artis-selebritis yang dikagumi banyak orang dan mendapatkan kepuasan individual dalam kehidupan hari-harinya, bahakn selalu mampu memenuhi kebutuhan individualnya dengan mudah dan hidup mewah. Kita bisa mengatakan bahwa perempuan semacam itu memiliki posisi di ruang publik karena ketenarannya, tetapi kebanyakan perempuan semacam itu sesungguhnya sama sekali tak dapat diandalkan dalam urusan publik yang serius, dengan kemampuan daya pikirnya yang terbatas dan dangkal.

Lihatlah, tiap hari kita disuguhi lontaran-lontaran gampangan, dangkal, dan kacangan dari para perempuan penghibur semacam itu di acara infoteinmen (gosip) yang ditayangkan hampir setiap jam. Bahkan kalau mau jujur ungkapan-ungkapan mereka juga ikut mempelopori kemunduran cara pandang dan kesadaran kaum perempuan di maasyarakat—karena bagaimanapun mereka adalah tokoh publik. Apa yang diberikan bagi kesadaran perempuan untuk lepas dari penindasan dari mulut selebritis seperti Julia Perez, Dewi Persik, Agnes Monica, Cinta Laura dan lain-lainnya?

Hubungan Palsu

Oh, kayaknya saya terlalu menggambarkan perempuan-perempuan murahan yang berusaha direproduksi kapitalisme. Laki-laki yang membangun hubungan secara serius dengan perempuan memang tak suka ketika seorang perempuan bersikap terlalu artifisial, laki-laki bahkan resah dan kawatir tentang siapa dirinya sebenarnya dan apa motivasi serta tujuan perempuan itu. Biasanya, laki-laki akan berpikir bahwa semua yang dikenakan perempuan itu adalah untuk menjebaknya.

Tentu kita juga akan mengatakan bahwa laki-laki yang hanya memanfaatkan kelemahan perempuan adalah laki-laki yang tidak memiliki nilai yang dipegang dalam membangun hubungan. Karena dia hanya main-main, karena tak percaya pada nilai. Atau tak berusaha memperjuangkannya. Laki-laki kaya juga akan cenderung mewakili hubungannya dengan kekayaannya, artinya di situlah dia telah memanipulasi dirinya.

Kepemilikanlah yang menjadi wakil dari eksistensi dirinya. Ketika kualitasnya jelek, ia mengandalkan materi dan kepemilikannya untuk menarik orang lain agar mau berhubungan dengannya, terutama perempuan-perempuan yang begitu mudah tergoda dengan mater—perempuan-perempuan parasit yang tidak mandiri dan hanya mengandalkan perlindungan laki-laki dan orang lain.

Kecantikan yang dijual adalah seba-sebab retaknya hubungan rumahtangga. Suami-suami tanpa sepengetahuan istri, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, sangat tertarik dengan perempuan-perempuan yang lebih muda. Dan cara pandang laki-laki semacam itu tampaknya dipenuhi oleh kebutuhan pasar: dari acara yang paling ‘gaul’ hingga yang paling ilmiah seperti seminar seakan harus menyediakan perempuan muda yang cantik dan seksi. Yang menginginkan bukan perempuan, tetapi jelas untuk memenuhi kebutuhan laki-laki yang ingin sekedar ‘cuci mata’ hingga mengajak perempuan-perempuan SPG yang mau diajak kencan itu.

Inilah masyarakat yang tidak adil dan bias gender. Kebutuhan laki-laki untuk selingkuh dan serong—baik dengan perempuan pelacur kelas bawah maupun kelas atas—difasilitasi. Untuk perempuan tidak difasilitasi, karena hanya laki-lakilah yang seakan wajar jika “berzina”—sementara perempuan yang ingin cerai karena memang tidak betah dengan hubungan yang menindas dan tak berkualitas dalam pernikahannya, ia tak boleh cerai tanpa persetujuan si suami. Dan ketika se perempuan ketahuan lebih memilih laki-laki lain yang memang dicintainya, maka ia disebut perempuan “gatal” atau tidak pantas melakukan hal itu. Seakan mendua bagi laki-laki dianggap wajar, sementara perempuan yang tak pernah mendua dan lebih memilih dianggap terkutuk.

Kebutuhan laki-laki untuk selingkuh dengan kilat dapat difasilitasi di hotel-hotel, massage/panti pijat, bar-bar, night club, barber shop, salon-salon, billiard center, dan lokasi-likasi lain. Langganannya adalah pria dan bukan wanita. Hotel-hotel juga memfasilitasi laki-laki yang selingkuh dengan perempuan non-pelacur dengan tidak menanyakan surat nikah ketika sepasang laki-laki perempuan check-in. Dan memang kebanyakan bisnis hotel memang mengandalkan pada konsumen yang berupa pasangan tidak sah menurut agama ini.

Maka dari kisah di atas saya sebenarnya ingin menegaskan tesis yang tak terbantahkan bahwa lebih banyak laki-laki yang curang, serong, dan selingkuh daripada perempuan. Kenapa? Karena kondisi masyarakat yang bias-gender memfasilitasi dan mendukung laki-laki untuk serong, baik dari sudut pandang agama (poligami) maupun budaya, hingga dilihat dari aspek sosio-ekonomi.

***


[1] Sherry Argov. Why Men Marry Bitches?: Panduan Bagi Perempuan untuk Memenangkan Hati Pria. Jakarta, GagasMedia, 2008, hal. 11-12

[2] Sherry Argov. Why Men Marry Bitches?: Panduan Bagi Perempuan untuk Memenangkan Hati Pria. Jakarta, GagasMedia, 2008, hal. 20-24

Sabtu, 27 Desember 2008

METODE PENDIDIKAN MARXIS-SOSIALIS:

Menggugat Bangunan
Pendidikan Kapitalis


"Jangan Tuan terlalu percaya pada pendidikan sekolah. Seorang guru yang baik masih bisa melahirkan bandit-bandit yang sejahat-jahatnya, yang sama sekali tidak mengenal prinsip. Apalagi kalau guru itu sudah bandit pula pada dasarnya.”
—Pramoedya Anantra Toer, Novel ”JEJAK LANGKAH”, hal. 291—


Setelah buku berjudul ”Pendidikan Berperspektif Globalisasi” (Arruzzmedia Yogyakarta—Januari 2008), buku ini merupakan tindak lanjut dari risalah yang saya tulis tentang pendidikan. Ada asumsi ideologis yang berkembang dalam dunia pendidikan kita, ide-ide dan paham lama yang mengendalikan dibuatnya kebijakan dan proses pendidikan. Intervensi ideologi kapitalis dalam dunia pendidikan, misalnya, dapat kita lihat lewat kurikulum.

Kurikulum, misalnya, adalah salah satu media yang sangat penting untuk mereproduksi cara pandang yang sesuai dengan kapitalisme. Semua sekolah kapitalis memiliki “kurikulum tersembunyi” (hidden curriculum) untuk tujuan memaksakan ideologi kapitalis masuk kelas—sebagaimana dikatakan Henry Giroux:

Kurikulum tersembunyi di sekolah merujuk pada norma-norma, nilai-nilai, dan sikap di bawah sadar yang seringkali ditransmisikan secara halus lewat relasi-relasi social di sekolah dan kelas. Dengan menekankan pada aturan konformitas, pasifitas,dan ketertundukan, hidden curriculum mnjadi salah satu media sosialisasi yang kuat yang dapat berguna untuk memproduksi model-model pribadi yang siap menerima hubungan social dan sruktur kekuasaan yang sedang bekerja”.
[1]

Sungguh tak dapat kita sangkal betapa pentingnya kurukulum. Kurikulum adalah yang menentukan pelajaran apa yang harus diberikan pada murid dan apa yang harus diajarkan guru. Hal itu juga akan menentukan apa yang dimasukkan pada pikiran anak didik dan guru, akhirnya juga pengetahuan apa dan macam apa (dimana keberpihakannya) yang harus diajarkan di sekolah. Menurut Paulo Freire dalam bukunya “Education for Critical Consciousness”,
[2] kurikulum dalam pengertian modern dipahami sebagai himpunan pengalaman peserta didik yang menjadi objek pembahasan dan praktek belajar mengajar. Subjek materi dan proses belajar mengajar dalam kurikulum seharusnya bersumber dari dari realitas konkrit keseharian peserta didik sendiri.

Kurikulum yang baik adalah yang berpusat pada “problematisasi” situasi konkrit. Peserta didik bersama para pendidiknya memaknai berbagai macam persoalan seputar pengalaman hidupnya dan berusaha memecahkan persoalan yang dihadapinya. Sebagai mediator pendidik seharusnya berfungsi meyakinkan akan realitas yang diketahui oleh peserta didiknya, lantas secara bersama menganalisisnya sehingga peserta didik mampu membangun pengetahuannya seiri secara kritis dan berakar dari pengalaman konkrit.

Sayangnya hal itu tak
terjadi, dan kurikulum semacam iti benar-benar dijauhi oleh penidikan kapitalis. Pada hal kita tahu dari Freire kita mengetahui bahwa yang terjadi dalam masyarakat kapitalis sekarang adalah bahwa kurikulum yang ada “terputus dari kehidupan, berpusat pada kata-kata yang mewakili realitas yang ingin disampaikan, miskin aktivitas konkrit, tidak pernah mengembangkan kesadaran kritis”.[3]

Bahkan kalau mau kita analisa secara jauh memakai pendekatan kelas Marxian, kurikulum kapitalis secara jelas berspektif kelas. Lebih dari tidak berdasarkan pengalaman konkrit peserta didik, kurikulum dalam sekolah kapitalis telah membaca cara pandang dan cara berpikir berdasarkan kelas penguasa. Para peserta didik, yang berlatarbelakang macam, dipaksa untuk berpikiran satu dimensi atau bahkan dipaksa menjadi kelas kapitalis.

Tak terbantahkan lagi bahwa remaja-remaja kita yang belajar ilmu ekonomi, dipaksa seolah ia seorang kapitalis (pemilik modal). Saya selalu bercerita tentang pengalaman saya waktu menempuh pelajaran “Ekonomi Kperasi” yang saya dapatkan sejak sekolah di SMP (Sekolah Menengah Pertama). Waktu itu, sebagaimana metode pelajaran mengkondisikan kita untuk menghafal dan bukan untuk mengerti da memahami, maka sebelum ujian harian (“ulangan”—begitu kami dulu menyebutnya) saya harus menghafal doktrin-doktrin ekonomi kapitalis. Saya mendapatkan nilai muthlak (100) dalam suatu “ulangan” yang yang salah satu soalnya adalah “Bagaimanakah prinsip ekonomi?”. Saya harus menjawab, yang sebelumnya harus saya hafalkan berulang-ulangkali mirip merapal mantra: “Dengan modal sekecil-kecilnya untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya”.

Saya tak tahu apakah soal ujian seperti itu masih diajarkan di sekolah-sekolah kita. Tapi kalau menengok semakin nyatanya doktrin kapitalisme dalam praktek-praktek yang dijalankan oleh pemimpin kita, saya merasa apa yang saya hafal sekitar 15 tahun yang lalu lebih menyebar di otak anak-anak kita.

Pandangan seperti itu tentunya adalah doktrin yang kuat. Bayangkan, seperti saya, tiap anak-harus hafal rumus ekonomi capitalis. Suatu prinsip yang digunakan untuk berhubungan dengan orang lain, ketika anak-anak besar dan dewasa, bahkan ketika banyak anak-anak itu yang kini memegang kebijakan penting Negara/pemerintahan. Buktinya memang para pengambil kebijakan itu benar-benar mempraktekkan prinsip ekonomi yang diajarkan ketika mereka mulai sekolah—belum lagi kotbah-kotbah di luar sekolah. Para pngambil kebijakan etu benar-benar mengutamakan prinsip untuk “mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dengan modal sekecil-kecilnya”.

Apalagi kalau modal yang mereka keluarkan untuk menjadi pejabat sangat besar, tentu akan semakin besar pula keuntungan yang ingin didapatkan. Sekarang, untuk menjadi pejabat tingkat rendah (PNS), lulusan perguruan tinggi harus mengeluarkan uang rata-rata 150 juta. Itu dianggap mereka sebagai modal. Yang tentunya diharapkan akan kembali saat menjabat. Dengan berbagai tindakan koruptif dan kolutif, mereka akan mengembalikan modalnya—tu target minimal. Tetapi tentu saja, rata-rata orang akan beharap akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Itu sudah cukup menjelaskan kenapa pendidikan kapitalistik akan menghasilkan produk-produk sekolah yang korup. Bukankah watak korup memang tak mungkin terjadi dengan sendirinya?

Korupsi tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi merupakan warisan sejarah masyarakat Indonesia. Kolonialisme yang berkelindan dengan penguasa feudal pribumi mewariskan banyak kerusakan, salah satunya mentalitas korup di birokrasi. Feudalisme dan sistem upeti diperkuat oleh masuknya admisnistrasi Belanda yang menyeruak dalam seluruh kehidupan sosial dan politik. Korupsi bisa dianggap nama lain dari upeti, di jaman Orde Baru hingga sekarang namanya diperhalus menjadi hibah. Tentang budaya yang merusak ini tak pernah ada penilaian dan jalan keluar yang serius dari para elit hingga sekarang ini.

Korupsi adalah kelanjutan sejarah kaum priyayi yang harus terus menyogok atasannya dan menginjak lapisan bawahnya, menjilat, demi mengamankan posisi dan kemakmurannya, seperti Sastrokassier menyogok Asisten Residen dengan menjual Sanikem (yang kemudian dikenal dengan Nyai Ontosoroh), anaknya sendiri—dalam Novel “Bumi Manusia” karya Pramodya Ananta Toer. Lebih dari soal mentalitas, korupsi berkaitan dengan rendahnya produktivitas bangsa. Korupsi adalah tentang pemimpin, birokrasi, dan rakyat yang (tidak difasilitasi) kapasitasnya untuk semakin produktif, yang nihil semangat untuk menghargai kerja, yang minim etos kerja.

Itu soal bagaimana mntal pejabat yang dibentu oleh pendidkan. Belum lagi soal cara pandang kelas (kapitalis) yang secara riil dipaksakan dalam detail-detail praktek pendidikan kita. Tesis cara pandang kelas itu akan lebih nyata lagi saat menjadi mahasiswa ilmu ekonomi (administrasi, manajemen, dan akuntansi, dll). Materi-materi yang diajarkan dari buku-buku dan dari kotbah dosen adalah cara berpikir kapitalis. Teorinya adalah teori memacu produktifitas (membuat produk) agar laku dijual dan banyak mendatangkan keuntungan. Manajemen pemasarannya adalah manajemen supaya produk laku dan mncari pasar secara kreatif. Bukankah itu semua adalah tindakan-tindakan yang bertujuan membantu kapitalis untung?

Bahkan saat menuliskan skripsi sebagai tugas akhirpun, juga kembali pada bagaimana supaya mendapatkan keuntungan, misalnya bagaiman agar etos kerja bawahan (buruh atau manajer di bawah kapitalis/pemilik modal) punya etos kerja yang produktif, karena keuntungan akan semakin besar jika banyak produk yang dihasilkan buruh si kapitalis. Dengan meminjam ilmu-ilmu psikologi, mahasiswa manajemen juga dipaksa menuliskan skripsi bagaimana mempengaruhi remaja agar membeli dan membeli.

Yang aneh di sini adalah, mahasiswa itu belum tentu anak kapitalis. Kebanyakan dari mereka adalah anak pegawai atau pejabat rendahan. Bahkan tidak jarang yang anak petani. Lalu mengapa mereka dipaksa berlaku seakan mereka adalah kapitalis yang tujuan hidupnya, atau yang kuliah-kuliahnya memaksa mereka jadi kapitalis? Tentulah tak terbantahkan bahwa kapitalisme kejam. Yang tidak seharusnya terjadi tetap dipaksakan!

Maka itulah yang dimaksud Karl Marx dengan dominasi ideologi kelas. Kelas penguasa akan berusaha memaksakan cara pandangnya pada semua anggota masyarakat, terutama agar cara pandangnya diterima kelas yang berbeda. Tentu tujuannya sudah jelas: agar sistem yang dijalankannya bertahan kokoh. Agar ia tetap menjadi penguasa yang hidupnya enak sendiri, dengan mengorbakan mayoritas massa rakyat yang sengsara dan menderita.

Ilmu ekonomi kapitalis dan seluruh kurikulum pendidikan telah menjadi bagian dari operasi kapitalisme itu. Operasi ekonomis konkritnya adalah doktrin bahwa membuat produk (produksi) dilakukan untuk mencari keuntungan; bukan produksi untuk dipakai secara bersama (seperti dalam sistem sosialisme). Ajaran mencari keuntungan diajarkan pada tiap-tiap individu, agar menjadi tujuan hidup individu, untuk merongrong kepercayaan bahwa antara manusia satu dan manusia lainnya mampu bekerjasama.***
Catatan Kaki:
[1] Henry Giroux. Pedagogy and the Politics of Hope: Theory, Culture, and Schooling. Boulder, Colo: Westview Press, 1997, hal. 198
[2] Paulo Freire. Education for Critical Consciousness. London: Sheed and Ward, 1979, hal. 28
[3] Ibid., hal. 37
===========================

Senin, 17 November 2008

TENTANG BUKU "INTIMACY":

-------------------------------
Bermula dari kenyataan yang saya jumpai dalam kehidupan sehari-hari, berawal dari melihat dan memahami hubungan antara sesama manusia di sekitar saya. Juga bermula dari pengalaman-pengalaman saya sendiri dalam mengendalikan dan memahami potensi keintiman yang saya miliki, juga orang-orang di sekitar saya yang saya lihat.

Pertama, saya merasa bahwa potensi keintiman saya belum dapat ter-realisasikan, terut
ama hal itu saya sadari saat saya telah gagal membangun hubungan bersama seseorang yang sebenarnya—jujur!—sangat saya cintai. Tetapi hubungan yang gagal adalah hubungan yang aneh, karena keintiman dan keterpisahan dalam hubungan—dengan berbagai manifestasinya (seperti kemesraan saat menyatukan tubuh hingga pertengkaran yang juga tak kalah hebatnya terjadi)—selalu bertarung dalam diri saya dan (mantan) ’kekasih’ (’pacar’) saya. Tetapi saya harus menganalisanya secara detail: ada variabel independen dalam potensi pskikologis antara kami berdua yang masing-masing dibentuk oleh pengalaman hidup sejak kecil... terutama dari pihak saya sendiri yang mengalami banyak pengalaman psikis yang traumatis akibat keluarga (orangtua) yang berantakan (broken home)—alhamdulillah, sekarang sudah tertata kembali justru saat saya mulai dewasa dan konon kabarnya sudah waktunya menjadi orangtua. Hubungan saya yang ’berantakan’ dengan pacar saya yang berujung pada perpisahan tersebut membuat saya memikirkan suatu gejala tentang keintiman dalam hubungan. Itulah faktor pertama yang menggerakkan tangan saya untuk menulis karya ini.

Kedua, sebagaimana saya alami sejak kecil dalam sebuah keluarga yang ’broken’, juga masih banyak hubungan di sekitar saya (dan keluarga saya) yang juga ’broken’, bahkan ’broking degree’-nya melampaui batas normal. Mereka adalah tetangga saya yang saya lihat dengan mata kepala sendiri, sebagian juga masih saudara-saudara saya. Sebagian lagi juga kisah ’broken relation’ yang saya dengar dari kawan-kawan saya selama saya mengembara mengelilingi pulau Jawa—dalam kapasitas saya sebagai pekerja sosial, penulis dan peneliti lepas yang suka melihat-lihat keadaan kehidupan di luar sana. KEINTIMAN telah hilang dari mereka: anak-anak yang tak lagi dielus-elus orang dewasa, terutama Ibu dan bapaknya; gaya pacaran yang dipenuhi kekerasan; hingga relasi makro-sosial dalam masyarakat kita yang kian centang-perenang sebagaimana konflik dan gejolak semakin meluas gara-gara krisis ekonomi, krisis kebudayaan, dan krisis kepercayaan.

Saya terdorong untuk selalu bertanya: bagaimana menjalin ikatan yang harmonis itu? Tentunya, dengan bantuan para psikolog ternama dalam sejarah (Freud, Fromm, dll), saya merasa menemukan apa yang menjadi faktor pengikat hubungan manusia. Keintiman antara sesama adalah hakekat peradaban yang sejati dan maju. Sejarah yang menyangkal keintiman dan
hasrat penyatuan manusia pada dunianya (alam dan sesamanya) adalah sejarah kehidupan yang buruk! Karena inilah saya mengembangkan pemikiran psikologis mendalam (psikoanalisis yang ditemukan Freud dan dikembangkan dan dievaluasi oleh berbagai pemikir berikutnya) untuk melihat potensi keintiman dan bagaimana kita bisa mengembangkan potensi keintiman dengan orang-orang dekat kita—orang-orang yang kita cintai, tentunya!

Ketiga, saya mengikuti berita tentang bagaimana keintiman sebagai potensi kemanusiaan tercederai oleh tindakan destruktif berupa pembunuhan berantai yang dilakukan oleh Ryan. Tragedi pembunuhan berantai di Jombang Jawa Timur dengan terdakwa Ryan merupakan sebuah tragedi kemanusiaan yang mengenaskan. Pembunuhan dengan motif penyimpangan seksualitas dan secara psikologis dikendalikan oleh penyakit kejiwaan itu patut mendapatkan perhatian kita semua.

Tentunya peristiwa kekerasan berupa pembunuhan itu harus kita sikapi secara arif dan bijaksana. Lebih jauh yang patut kita renungkan adalah sebuah pertanyaan mengapa kondisi kejiwaan seperti dialami Ryan muncul. Tidak mungkin segala sesuatu terjadi tanpa sebab-sebab yang jelas. Sebuah kondisi kejiwaan pasti diakibatkan oleh pengalaman kehidupan yang dibentuknya sejak kecil. Artinya, mental, watak, dan situasi kejiwaan individu dibentuk dari lingkungan tempat ia tinggal.

Tentu kita akan menuduh keluarga sebagai penyebab dari cacatnya pertumbuhan sang anak. Ryan sebagai seorang anak dari keluarganya memiliki kejiwaan yang secara tidak disadari membahayakan orang-orang dekatnya. Tetapi menyalahkan keluarga saja tidak cukup karena keluarga bukanlah lembaga yang independen dari hubungan-hubungan ekonomi-sosial dalam masyarakat yang lebih luas.


Kasus Ryan harus kita kembalikan pada analisa psikologi mendalam (psikoanalisis), kemudian kita kaitkan dengan bagaimana basis material sejarah (situasi sosial) membentuk perkembangan individu-individu dalam masyarakat kita. Ajaran psikologi sosial menghendaki adanya terapi individu dalam kaitannya dengan kondisi yang membentuk pengalaman-pengalaman indindividu yang ada.

Penyimpangan psikologis dalam tiap-tiap anggota masyarakat selalu berkaitan dengan situasi material masyarakat yang juga tak sehat. Erich Fromm, dalam bukunya “Masyarakat Yang Sehat” (1995) menunjukkan bahwa penyimpangan psikologis dan ketimpangan pemanknaan hidup orang sangat berkaitan dengan perkembangan masyarakat kapitalis mutakhir yang semakin menunjukkan wajah ganasnya. Meskipun studi Erich Fromm dilakukan di Negara Barat yang maju (Amerika Serikat/AS), tentu kita dapat menarik kesimpulan yang sama untuk melihat berbagai macam perkembangan masyarakat di dunia Ketiga seperti Indonesia.

Data membuktikan bahwa frustasi merupakan gejala yang meningkat pada saat kapitalisme dengan penindasannya juga merajalela. Pada tahun 2010, sebagaimana ditulis Strategic Plan for Health Development, rasio gangguan kesehatan mental dalam jumlah penduduk nasional diperkirakan 140:1000 bagi orang yang berumur lebih dari 15 tahun. Artinya, dalam setiap 1000 penduduk Indonesia, terdapat 140 orang yang mentalnya tidak sehat. Jumlah ini jauh lebih besar dari pada rasio penyakit fisik, seperti diabetes (16:1000), penyakit kardiak pulmonaris (4,8:1000) atau stokes (5,2:1000). Bagaimanapun, menteri kesehatan memperkirakan bahwa pasien gangguan mental hanya berjumlah 1,5 persen yang saat ini dirawat di rumah-rumah sakit (Jakarta Post, Sabtu 22 Oktober 2005).

Jumlah masyarakat tidak sehat secara fisik seperti pertumbuhannya terganggu, cacat, menderita sakit, di Indonesia sangat besar. Setiap orang di Indonesia dihinggapi rasa takut kalau sewaktu-waktu menderita sakit. Hal ini dihadapkan pada fakta bahwa biaya kesehatan sangat tinggi. Kesehatan fisik masih sangat sulit diakses ketika harga-harga mahal akan membuat orangtua miskin mengurangi anggaran konsumsi nutrisi berkualitas (bergizi) bagi anak-anaknya. Sedang
kan kesehatan mental juga jelas-jelas tergantung pada kesehatan fisik. Pertumbuhan tubuh yang jelek akan menghasilkan kualitas pemikiran dan kreatifitas yang jelek. Adagium mensana in korporesano (dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat) masih tidak dapat terbantahkan.

Menurut saya kasus pembunuhan berantai itu adalah ‘Tragedi Eros’, suatu penyimpangan dari hakekat manusia yang selalu ingin intim dengan sesama. Peradaban tercederai dan instink penyatuan ditolak atau tertolak, inilah wajah peradaban kapitalis kita, hingga mereka yang ‘cintanya tertolak’ atau hasrat-nya dikecewakan—hasrat yang bersumber dari instink keintiman—merasa kecewa dan melakukan tindakan brutal: membunuh, melukai, menyakiti, dan berperilaku menyimpang.

Karena itulah saya berusaha menuliskan risalah tentang ‘KEINTIMAN’ (Intimacy) ini. Buku yang tipis, yang saya harap menyumbangkan gagasan bagi masalah hubungan yang sedang kita jalani, kita berdua, kita bersama orang lain, terutama orang-orang yang kita cintai.

Karya ini dapat terselaikan dengan berbagai macam upaya yang panjang dan lingkungan yang, bagaimanapun, tetap berpihak pada proses kreasi saya dalam melontarkan pandangan-pandangan, keresahan-keresahan, dan kadang juga lebih banyak sentimentalitas. Jadi, puji syukur pada Tuhan Yang Maha Esa, karena saya masih tidak dapat mengukur ruang dan waktu yang mewakili betapa kekuasaan-Nya begitu riil di jagat raya ini.

Kemudian, saya juga minta maaf pada berbagai pihak (entah individu, organisasi, atau sindikat) yang telah terepotkan karena saya meminjam buku-buku dan dokumen mereka; memanfaatkan fasilitas mereka (entah kamar untuk tidur atau makanan pokok ala kadarnya yang mengenyangkan); juga kadang memaksa mereka menghentikan aktifitas sejenak pada saat saya ganggu; di antaranya juga orang-orang yang merasa terganggu karena terlalu seringnya saya datang, atau kadang terpaksa melayani telfon atau sms saat saya ingin menanyakan literatur atau lupa pada nama pengarang judul buku, atau kadang juga berkaitan dengan upaya saya untuk menghilangkan kejenuhan karena terlalu asyik lama menulis. Pada seseorang yang sering mendengar kata-kata saya dari seberang lewat telfon “Kujemput Yuk, Temani Aku Ma’em”, ucapan maaf terbesar kuucapkan padanya.
Lantas, ucapan terimakasih juga saya haturkan atas bantuan dan sumbang-sih yang ka
dang merepotkan itu. Saya yakin kerja penulisan ini, dengan waktu yang relatif lama, akan memberikan masukan bagi wacana pendidikan dan ilmu sosial di sekitar kita.

Karya ini saya persembahkan untuk para guru yang dengan serius dan idealis mendidik para “anak-anak”-nya, yang masih percaya bahwa pendidikan bukan ajang untuk mencari kekayaan tetapi untuk suatu proses pencerahan, pembebasan, dan perubahan...
Karya ini juga saya persembahkan pada anak-anak yang menyukai belajar dan mencari tahu hal-hal baru, yang kadang dengan cara lucu mengernyitkan jidatnya yang masih mulus saat saya melontarkan pertanyaan atau pernyataan baru pada mereka. (Untuk Bambang, Ocid, Nabilla, Amel-Arab, Rizal, Ardi, Oliv, Devi, Imel, Habib, Prisma, Exsel, dll... secara khusus kaya ini saya persembahkan pada mereka—meskipun kadang mereka mengagetkan dan membuyarkan pikiran saat saya sendiri berada di labtop menuai kata-kata; meskipun mereka selalu mengajak ke pantai saat saya berada di kampung setelah berkeliling ke berbagai kota dan desa.

Karya ini juga saya haturkan pada para orangtua (ayah dan ibu) yang ingin melihat anak-anaknya tumbuh dan berkembang baik dengan pengetahuan, wawasan, ketrampilan, dan kekritisan. Termasuk Ibundaku, Endang Siti Fatonah, yang dalam bahasanya sendiri memberikan kasih sayang sejak kecil di tengah kesulitan keluarga, yang selama saya belajar di SMU dan Universitas juga tidak marah atas pemberontakan yang kelewatan saya di masyarakat, yang hanya mencibir saat saya dicari-cari aparat polisi setelah dinyatakan melanggar UU Subversif setelah membakar bendera partai politik yang hingga saat ini masih menjijikkan. Ibunda Fatonah jelas merupakan orang yang paling berjasa pada pertumbuhan saya bahkan setelah saya seharusnya sudah mandiri: menyediakan makanan-makanan bergizi (semacam nasi plus lauk pauk favorit seperti ikan panggang yang dimasak pedas atau telur ikan tuna bumbu pedas), yang tentu saja terlalu lumayan untuk mengganti energi yang saya keluarkan dala penulisan buku-buku, opini, esai, dan puisi-puisi saya di berbagai media. Selain Ibunda, ada Kakanda Erni Suparti yang hingga saat ini masih mendukung segalanya—dan belakangan menyuruh saya (dengan nada agak memaksa) untuk segera menikah pada saat saya sendiri masih merasa cukup muda untuk “membujang”.

Lalu ada Mas Roji, Amin Tohari-Mariam, Etika Erna Wati-S.Prianto, D.B. Andani,
Yu Roma-Mas Yat, Andi, Mbak Siti-Mas No, yang selalu mendoakan saya agar tetap bisa eksis di dunia. Juga saudaraku, Profesor Slamet Riyanto—Si Jenius berkacamata, sang introvert lulusan teknik Nuklir yang tak tertarik menggunakan keahliannya untuk ikut berperang di Taliban: Slamet inilah, sebagai kutu buku, yang banyak memberikan literatur-literatur berbahasa Inggris yang dikopi dari kampusnya (UGM) dan bahkan membantu menterjemahkan beberapa teks bahasa Inggris.

Saya juga patut mengucapkan terimakasih pada kawan-kawan sehati dan seperjuangan: Ahmad Zaenurrofik (serta Shopia) yang mulai menjadi penulis produktif—selamat atas Terbitnya buku ‘Cina’; Heppy Nur Widiamoko (serta Erna Ambarwati) yang mulai merasakan bagaimana asyiknya MENDIDIK anak kecil agar nanti benar-benar seperti Soekarno atau Sidarta. Juga pada kawan-kawan saya Ruudj, Nur Fitriana (Fifi), Dion, Mas Seno, Mbak Anis Megawati, Dr. Widodo, Firman dan Pram, Deny Ardiansyah, Beta Candra Wisdata, Asri Asih Lestari, Kurnia, Ugi, Zahroh, Sony-FLP, dll.

Selamat Membaca dan Berkontemplasi! Selamat mengarungi kata-kata yang saya torehkan untuk selanjutnya jadi bahan diskusi. Karena tentu masih ada kontradiksi dari materi katakata yang tertoreh dalam buku ini!

Nurani Soyomukti,
Sempu-Margomulyo,Awal Puasa/Awal September 2008
---------------------------------------

Senin, 10 November 2008

DESA-DESA YANG KULEWATI:


...

Desadesa yang kulewati menyimpan lukaluka
Ada lima desa dengan lima luka.

Luka pertama:
Tepat di danaunya ada nanah berlumpur
Dan kumankuman peradaban menikmatin malam tanpa bulan

Orang-orang yang dipinggirnya hanya duduk diam
Menahan marah pada kekuasaan.

Luka kedua:
Tepat di kawahnya ada genangan darah
Yang pernah muncrat
Sedikit yang selamat.

Luka ketiga:
Nanah bergetah tepat dilehernya
Pohon-pohon tumbang hilang kepalanya
Seorang laki-laki juga kehilangan kepalanya
Setelah ia lewat di suatu bulak pada suatu malam,
dengan tas berisi uang hasil curian.

Luka keempat:
Tepat di dadanya
Gunung-gunung kehilangan tumbuh-tumbuhan
Kulit-kulitnya sobek, dagingnya rontok menenggelamkan

Rumah-rumah yang di dalamnya penuh jelaga.

Luka kelima:
Desa itu tak kelihatan lukanya
karena air bah
entah kapan mengering.
Musim kemarau belum juga tiba.


*)Situbondo Januari 2008

BALADA HUJAN SORE

...
Hujan sore bukan karena kerinduan
Bukan karena sepi
Dulu hujan adalah titik air mata
Jatuh dari mega
Menusuknusuk bumi
Menghujam ulu hatiku,
Hujan airmata ibuku
Yang rindu anaknya berada di kejauhan

Ternyata Cuma hujan gerimis
Mataharipun menangis
Akankah dimenangkannya senjanya kembali?

Aku telah nyaman berada di sini bersamamu
Sebagai pengembara yang rindu air
Ingin kusentuh sisa-sisa embun yang menempel di keningmu
Merabaraba apa yang kau pikirkan pada setiap pergantian musim!

*[Trenggalek, 09 Oktober 2008]

MALAM MENGASAH PISAU

......
Malam mengasah pisau
Kurobek langit hatiku
Dewa cinta menyandra bumi
Gerimis menangis di musim yang belum jelas
Entah semi entah gugur
Kata kata puisiku

Kadang kucoba menduga apa yang kaupikirkan menjelang tidur
Siang
Malam
Bintang?
Ataukah kunangkunang?
Atau aku yang selalu setia menunggu waktu
Yang pada pagi tak pernah absen mengirimu puisi

Tapi malam mengasah pisau:
Pernahkah engkau bermimpi seorang lelaki
Sedang mengendapendap ingin merobek hatimu,
Setelah ia sangat lelah karena terlalu lama mengembara dalam mimpi?

*[jAKARTA, awal Oktober 2008]

Menulis buku Cinta:

Cinta = Hubungan Bertujuan

Oleh: Nurani Soyomukti

Lebih buruk lagi ketika kita melihat fakta bahwa kisah cinta dijalani dan dipilih hanya karena ikut-ikutan. Maka aturan dan cara menjalaninya juga ikut-ikutan. Pada hal seharusnya tindakan cinta itu memerlukan pemikiran dan pengetahuan yang mendalam. Karena cinta bukanlah suatu hal yang abstrak, maka harus dikenali bagaimanakah ukuranm-ukurannya dan prakteknya yang membuat ia menguatkan hubungan—hubungan yang
dibangun dengan baik, dan bukan diikuti secara mengalir begitu saja.

Jika ukurannya adalah aliran perasaan, tentu saja akan banyak godaan-godaan dalam membangun hubungan. Dalam hubungan cinta eksklusif seperti pacaran dan pernikahan, jika masing-masing pihak yang berhubungan menjalaninya secara mengalir, maka tak akan diketahui arah dan tujuan hubungan itu. Bahkan kenapa mereka berhubungan dan bersatu juga tidak diketahui.

Ketidaktahuan tentang cinta, hubungan, dan kekasih kita akan melahirkan alienasi (keterasingan). Kebodohan adalah musuh umat manusia sepanjang abad, tepatnya musuh diri yang paling hakiki sebagai manusia yang konon telah lepas dari status kebinatangannya. Binatang itu tidak punya akal, pengembaraannya diatur oleh nafsu. Hewan adalah budak keinginan yang caranya hidup juga hanya untuk memenuhi keinginan itu sebagai “tuan” yang membuatnya tidak berpikir dalam bergerak.

Singkatnya, hubungan cinta yang maju lahir dari orang-orang yang menyatukan diri dan diikat dengan tujuan. Tidak capaian yang bisa diperoleh dari jiwa orang yang hidupnya absurd dan tak tahu untuk apa tujuan hidupnya dan tujuan hubungannya, tujuan cintanya. Biasanya ia terombang-ambing oleh lingkungan dan berbagai serangan-serangan pemikiran dan cara pandang dari luar dirinya, tetapi tetap saja ia tak dapat menyerap berbagai hal yang datang untuk mengisi pikiran dan hatinya. Ia tak punya patokan, tak punya ukura yang digunakan untuk menilai diri dan lingkungannya. Lalu, iapun berkata: “Hidupku mengalir, aku tak perlu patokan-patokan, aku tak perlu
menetapkan nilai untuk segala sesuatu. Bahkan aku tak ingin menilai, pada karena aku tak mau menghakimi. Yang penting kepuasan kudapatkan dari semua ini”.

Tetapi tampaknya pengetahuan juga menjadi naluri yang umum di setiap manusia. Aktifitas cuek tanpa pengetahuan dalam suatu hubungan akan membahayakan dan tampaknya merupakan hal yang jarang terjadi. Untuk membangun hubungan dengan seseorang yang ingin kita cintai, misalnya, aktifitas memahami dan memaknai kehadiran seseorang itu sangatlah niscaya. Seorang yang kemudian menjadi kekasih atau teman intim kita tentu adalah orang yang istimewa bagi kita—kecuali, sekali lagi, orang baru itu adalah perempuan yang dijumpai laki-laki di rumah bordir. Orang yang istimewa bagi kita awalnya adalah orang yang pada ’pandangan pertama’ menarik hati kita, setelah dekat ia menimbulkan pertanyaan: ”Siapakah ia?” Kitapun penasaran ingin mengetahui tentangnya.

Saat ada kesempatan bahwa kita semakin dekat dengannya, kita semakin penasaran dan banyak bertanya dan mencari tahu tentang dirinya. Jika ia memiliki pengetahuan dan pengalaman atau kelebihan yang tidak kita punyai, kita beranggapan bahwa orang inilah yang dapat melengkapi kita. Kita ingin menyatu dengan orang ini agar diri kita seakan menjadi lengkap. Kita ingin menjalin hubungan yang lebih erat dengan orang ini, kita ingin terus bersama, kita membangun komitmen—dan kemudian, misalnya, mengikatnya dengan pernikahan.

Sebagai bentuk hubungan eksklusif (sempit) dibanding hubungan antara sesama manusia yang lebih luas (universal), pernikahan merupakan model hubungan di mana sepasang manusia diasumsikan ingin melembagakan suatu bangunan relasi yang didasarkan pada tujuan yang lebih bersifat serius dan jangka panjang. Jadi di sini Nurani menegaskan adalah tujuan adalah kata kunci dan dari tujuan itulah kita bisa mengukur secara dini bagaimana suatu hubungan maju atau tidak.

Jika tujuan pernikahan adalah remeh, maka kita harus mengutuknya, mencegahnya dan jangan menirunya jika kita masih percaya pada cinta dan keadilan. Tak jarang orang-orang oportunis mencari perlindungan dan mengharapankan pamrih dari pernikahan. Dalam buku ”Intimacy”, saya menunjukkan beberapa hal yang dapat saya deteksi dari orang-orang yang melakukan pernikahan sebagai kedok dan untuk alasan kepentingan sempit dan oportunis barangkali adalah sebagai berikut:
[1] pertama, untuk mendapatkan seks an sich. Yang masuk dalam kategori ini biasanya adalah orang yang hanya ingin segera bisa menikmati kenikmatan seksual dan tujuannya menikah hanyalah itu—biasanya yang lain-lainnya tak terlalu dipikirkan, tak dipersiapkan, dan dorongan yang mendesak dari melakukan pernikahan hanyalah seks; Ini biasanya berlaku baik bagi laki-laki maupun perempuan.

Kedua, menikah untuk mendapatkan fasilitas material saja. Tak jarang orang (biasanya lebih banyak perempuan) yang (baik terpaksa atau tidak) menikah agar segera mendapatkan orang yang dapat menghidupinya pada saat ia memang hanya akan tergantung pada orang lain. Terutama bagi perempuan yang tak produktif (menghasilkan pendapatannya sendiri) atau tak kerja, kondisi ketergantungannya akan sangat parah. Bagi perempuan yang memperoleh pendapatan pun, yang sering disebut ”perempuan independen”, mereka juga mengharapkan mendapatkan suami yang lebih kaya. Seakan kebanyakan perempuan memang lebih bahagia apabila ia mendapatkan suami yang lebih dan sangat kaya—seakan sudah menjadi naluri perempuan (meskipun tesis ini masih bisa diperdebatkan, karena ta mungkin suatu mental tak disebabkan oleh kondisi dan situasi historis).

Ketiga, tujuannya menunjukkan dominasi hubungan. Kebanyakan adalah laki-lakilah yang mengangga
p menikah sebagai alat agar ia mendapatkan pendamping (istri) yang bisa melayaninya, yang tunduk patuh padanya, yang mau memberinya keturunan tetapi untuk kejayaan dirinya sendiri—entah untuk menunjukkan eksistensi kelaki-lakiannya (keperkasaannya), dll. Keperkasaan dan narsisme semacam itu tak jarang ditunjukkan dengan ketidakberdayaan perempuan (istri) pada saat ia selingkuh baik resmi (poligami) maupun secara sembunyi-sembunyi.

Pertemuan antara perempuan yang tak produktif—saya menyebutnya sebagai ”parasite eves”—dengan laki-laki kaya yang cenderung narsis dan dominatif ini biasanya akan membuahkan penindasan dalam rumah tangga. Masalahnya: (1) si perempuan tak memiliki daya tawar ekonomis; dia tak memperoleh pendapatan sendiri dan hanya menggantungkan pada laki-laki (suam
i); (2) sang suami merasa bahwa dialah sumber dari pendapatan, artinya sumber kekuasaan. Dalam pola pikir rasional yang kapitalistik, sang istri dianggap sebagai buruh yang diupah oleh majikan (suami) dengan tugas-tugas domestik, misalnya: melayani kebutuhan seksual suami, merawat anak-anak, memasakkan nasi, kadang juga mencucikan baju, membersihkan rumah, dan lain-lain.

Bentuk dekadensi semacam itulah yang membuat hubungan menjadi bentuk yang merusah kemanusiaan, yang kalau kita selidiki lebih lanjut akan membuahkan berbagai bentuk dehumanisasi yang lebih luas yang diterima karena terwariskan kepada anak-anak kita.[]


----------------------------------------------
[1] Nurani Soyomukti. Intimacy: Membangun Kebersamaan dalam Pacaran, Pernikahan, dan Merawat Anak dengan Surga Keintiman. Surabaya: Prestasi Pustaka, 2008.
*****************************************